Ulama dan Umara dalam Sejarah Islam
Perspektif normatif tentang (hubungan) ulama dan umara dalam Islam nyaris tanpa persoalan. Disepakati bahwa kedua pemilik otoritas tersebut merupakan paduan yang utuh, tidak terpisah, dan mustahil dipertentangkan. Rujukan normatif tekstualnya adalah keharusan umat mentaati pemimpin atau ulil amri (QS an-Nisa’/4: 59) dan pribadi Nabi sendiri sebagai seorang Rasul juga sekaligus sebagai pemimpin pemerintahan. Dengan kalimat lain, pada dasarnya Islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan negara.
Perspektif normatif tentang (hubungan) ulama dan umara dalam Islam nyaris tanpa persoalan. Disepakati bahwa kedua pemilik otoritas tersebut merupakan paduan yang utuh, tidak terpisah, dan mustahil dipertentangkan. Rujukan normatif tekstualnya adalah keharusan umat mentaati pemimpin atau ulil amri (QS an-Nisa’/4: 59) dan pribadi Nabi sendiri sebagai seorang Rasul juga sekaligus sebagai pemimpin pemerintahan. Dengan kalimat lain, pada dasarnya Islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan negara.
Lain halnya bila dengan cermat mengulas kembali
manifestasi Islam dalam pemerintahan yang menyejarah pascakenabian yang membentang
hingga masyarakat muslim kontemporer. Dalam bentangan sejarah kaum muslim yang
panjang dan luas, ulama dan umara tidak hanya dapat dibedakan, lebih dari itu
keduanya tidak jarang saling silang sebagai pemilik otoritas kepemimpinan dalam
masyarakat muslim. Oleh karena itu, persoalan posisi dan peran ulama dan
umara dalam masyarakat muslim sebenarnya merupakan gejala belakangan, dengan segala pengaruh
dinamika global dan lokal.
Mengikuti
formulasi Obert Voll (1997) tentang kontinuitas dan perubahan pemerintahan
Islam telah terjadi empat periode pemerintahan, yaitu periode komunitas ummat
(masa Nabi dan sahabat), periode kekhalifahan, periode kesultanan dan kerajaan,
dan periode negara-bangsa. Pada keempat periode tersebut dapat dilihat hubungan
ulama dan umara terjalin secara dinamis.
Dalam sejarah,
sejak awal lahirnya agama Islam tidak ada pemisahan antara kewajiban keagamaan
dan kewajiban kenegaraan. Pada masa Nabi baik kepemimpinan keagamaan maupun
kepemimpinan kenegaraan bersatu pada diri beliau. Demikian juga halnya semasa para Khalifah
mengganti Nabi. Komunitas muslim yang masih terbatas lazim dengan sebutan
sebagai ummah. Mungkin sekali hal itu terjadi karena masyarakatnya masih lebih
sederhana dalam arti belum banyak lembaga dan
pranata yang majemuk sebagaimana dalam masyarakat mutakhir. Bahkan
pengertian tentang Negara saja tumbuh
secara pelan-pelan dari masyarakat kesukuan atau federasi kesukuan, kemudian
berkembang menjadi umat dan lambat laun menjelma menjadi negara.
Selanjutnya setelah Nabi meninggal muncul
persoalan tentang sifat dasar kepemimpinan umat. Tampaknya Nabi sendiri tidak
secara tegas menetapkan siapa penggantinya. Sesudah Nabi,
istilah yang banyak
dipakai untuk menyebut
pimpinan negara adalah
khalifah. Namun persoalan kepemimpiinan segera tertasi setelah Abu Bakar
Ash-Shidiq terpilih sebagai pemimpin kaum muslim dan masyarakat Makah-Medinah.
Secara umum tidak terjadi polaritas ulama-umara sampai setidaknya pada
kekhalifahan (khulafaurrasyidin), meski kadang karena tuntutan perluasan
pemerintahan Islam daerah perluasan ditentukan secara pragmatik dengan catatan
pengakuan atas khalifah sebagai pemimpin umat dibawah naungan Al-Quran dan
sunnah Nabi.
Persoalan peran dan posisi ulama dan umara mulai
terlihat nampak jelas pada masa pemerintahan pasca-khalifah yang empat
(khulafaurrasyidin). Dalam rentetan sejarah Islam, sikap penguasa—kecuali empat
khalifah pertama dan Umar bin Abdul Aziz dari Bani Umawiyah—dinilai membias
dari nilai-nilai Islam. Karena itu, banyak ulama yang menjauhi penguasa, bahkan
melakukan penentangan terbuka seperti yang dilakukan Imam Ahmad Bin Hanbal
terhadap Khalifah pada zamannya.
Realitas kekhalifahan yang tidak selalu terbimbing
dibawah wahyu bahkan memengaruhi pemikiran Al-Ghazali sehingga pesimis terhadap
kesatuan ulama dan umara. Imam
al-Ghazali menyatakan tidak pantas dan tidak terpuji ulama mendekatkan diri
kepada penguasa. Ulama yang bersentuhan dengan dinding kekuasaan dikategorikan
oleh Sang Hujjatul Islam sebagai ulama syu’ (buruk). Al-Ghazali hidup di masa
kekuasaan Bani Abbasiah, di mana tidak sedikit penguasa berusaha mengkoptasi
ulama untuk melanggengkan kekuasaan dan mendukung kebijakan penguasa.
Seiring dengan perluasan
wilayah kekuasaan Islam, istilah sultan digunakan untuk menyebut pemimpin pertama
kalinya diberikan oleh Khalifah Harun al-Rasyid kepada para menterinya. Sultan
diperuntukkan bagi penguasa-penguasa daerah yang merdeka atau takluk di bawah kekuasaan
Islam. Pada masa kesultanan Seljuk, istilah sultan lantas dipakai sebagai gelar
untuk pimpinan politik dan militer tertinggi, sementara istilah Khalifah
lebih terbatas kepada
pimpinan keagamaan saja. Hal ini menunjukkan telah merosotnya
istilah Khalifah yang sudah mulai sejak abad-abad akhir dari Khalifah Abbasiah di Baghdad. Dan dengan jatuhnya
Baghdad pada tahun 1258, maka gelar Khalifah hanyalah semacam gelar kehormatan
tanpa wewenang politik.
Berikutnya, perluasan masyarakat muslim ke
berbagai penjuru dunia pemerintahannya mengambil bentuk seseuai dengan warisan
lokal antara lain dalam bentuk kerajaan dan negara-bangsa. Dalam bentuk
kerajaan polarisasi peran antara ulama dan umara semakin jelas dapat dibedakan
Perkembangan masyarakat bisa menyebabkan terpisahnya kepemimpinan agama dan
kepemimpinan negara karena berbagai alasan. Yang pertama tentu saja karena
harapan untuk memperoleh pimpinan
politik yang saleh dan religius serta memperoleh dukungan
yang luas dari umat tidak berhasil. Yang kedua, mungkin juga karena makin majemuknya
masyarakat dan makin luasnya kekuasaan negara.
Peran dan posisi
Perubahan bentuk pemerintahan dari ummah menjadi
negara-bangsa di kalangan kaum muslim dengan sendirinya berimplikasi pada
dikotomi peran-peran yang dimainkan kedua pemilik otoritas tersebut. Ulama dan
umara menjadi dua jenis kekuasaan yang sulit disatukan dalam satu tangan. Kata
“ulama” bentuk jamak (plural) dari “’alim” yang artinya orang mengetahui. Jadi,
ulama—mengikuti kaidah linguistik (bahasa)—adalah orang-orang yang mengetahui.
Kata ”ulama” mengalami penciutan makna dan tidak bermakna jamak lagi, tapi
tunggal. Yaitu orang yang
hanya mengetahui dan memahami ilmu agama secara mendalam.
Sedangkan menurut Ibnu Khaldun, ulama disandang
oleh siapa saja yang memiliki keahlian dalam berbagai bidang pengetahuan, dan
dengan keahliannya itu memiliki otoritas untuk memimpin dan mengarahkan gerak
masyarakat (umat). Termasuk dalam kelompok ini adalah para intelektual atau
cendekiawan yang berbeda dengan para pemimpin negara. Namun Ibnu Khaldun yang
hidup pada akad ke-14 yang mana kekuasan Islam mulai runtuh tetap membedakan
ulama dan umara (penguasa).
Dalam sejarah peran dan posisi ulama seringkali
tersubordinasi oleh peran umara. Fatwa para ulama lantas menjadi semacam sumber
legitimasi. Karena itulah terdengar
kisah tentang usaha umara untuk ”marangkul” ulama yang berpengaruh, dengan
memberinya jabatan sebagai qadli atau mufti negara. Lalu ada banyak cerita
tentang ulama besar yang menolak
tawaran raja dan kemudian mengalami siksaan. Dalam bahasa
sekarang seakan-akan ulama
besar ini menjadi semacam
”tokoh oposisi” yang tidak mau tunduk kepada kekuasaan. Kritisisme ulama
terhadap pemerintahan telah menjadi bagian menyatu dalam setiap zaman.
Lebih-lebih pada saat ini, ketika sistem demokrasi
merambah di kawasan negara-negara muslim, jarak antara umara dan ulama
diperbesar oleh banyak faktor yang semakin kompleks. Masyarakat telah jauh
mengalami proses deferensiasi dan para ulama seakan-akan hanya mengkhususkan
diri dalam soal-soal keagamaan. Juga perkembangan ilmu pengetahuan modern
menyebabkan perbedaan bidang antara ilmuwan dan ulama walaupun secara bahasa
sebenarnya kedua kata itu masih searti. Sekalipun demikian pengaruh ulama pada
masyarakat masih tetap besar sehingga fatwa mereka sedikit banyak masih mempengaruhi legitimasi
pemerintahan. Bagaimanapun ulama masih punya peranan politik. Dalam bahasa yang
lebih pragmatis, senantiasa ada usaha-usaha untuk merangkul para ulama; baik
itu dilakukan oleh kekuatan politik penguasa, atau golongan-golongan lain yang
ingin turut serta dalam pengambilan keputusan politik.
Diantara ulama ada yang ingin tetap merdeka dari
kekuasaan sambil memerankan fungsi sebagai pengawal moralitas masyarakat. Meski
begitu ulama tetap kokoh dalam bingkai normatif yang ketat ketika berhadapan
dengan umara sebagai ulil amri yang wajib ditaati sepanjang tidak mengajak
maksiat. Ulil amri menurut Ibnu Taimiyah, adalah semua orang yang memberi
bimbingan dan mengatur kehidupan baik itu raja, ulama, ilmuwan, dan para
birokrat. Dikisahkan, ada seorang perempuan yang berani bertanya kepada Abu
Bakar Ash-Shiddiq: ”Apa yang menjamin kita dalam urusan taat kepada negara?”
Abu Bakar menjawab: ”Selama pemimpin kalian berlaku lurus”. Artinya, kritisisme
peran ulama sesungguhnya akan berhenti sepanjang umara memenuhi amanah yang
diemban. Mutohharun Jinan, pengasuh Pondok Shabran Universitas Muhammadiyah
Surakarta: Sumber: Suara Muhammadiyah 04/2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar